PROBOLINGGO — Langkah berani ditempuh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Probolinggo. Tak ingin persoalan pupuk bersubsidi terus berulang, lembaga ini menggandeng Dinas Pertanian untuk mengawal distribusi hingga ke tingkat petani.
Kolaborasi tersebut menjadi bentuk pengawasan sosial baru yang tidak hanya mengedepankan sisi teknis, tetapi juga aspek hukum dan keadilan. Di tengah keluhan petani soal pupuk yang kerap langka atau tak tepat sasaran, LBH PMII hadir untuk memastikan keadilan distribusi benar-benar dirasakan oleh petani kecil.
Ketua LBH PMII Cabang Probolinggo, M. Andi Fauzan, S.H., mengatakan bahwa persoalan pupuk bersubsidi bukan semata urusan administratif, tetapi menyentuh ranah hak dasar petani.
“Banyak petani tidak memahami haknya atas pupuk subsidi. Mereka sering kali menjadi korban mekanisme distribusi yang tidak transparan. Kami ingin memastikan sistem ini berjalan adil dan berpihak pada petani kecil,” ujarnya, Kamis (13/11/2025).
Inisiatif ini bermula dari forum diskusi antara LBH PMII dengan Dadik Eko Suprapto, staf analis pupuk organik dan pembenah tanah pada Dinas Pertanian Kabupaten Probolinggo. Dalam forum tersebut, keduanya membahas berbagai persoalan lapangan yang sering menimbulkan keresahan petani mulai dari keterlambatan distribusi hingga ketidaktepatan data penerima.
“Awalnya hanya diskusi ringan, tapi kemudian kami sepakat bahwa pengawasan hukum di tingkat akar rumput sangat diperlukan. Dari situlah muncul ide membentuk Paralegal Tani,” jelas Fauzan.
Pertemuan yang berlangsung di kantor Dinas Pertanian itu turut dihadiri oleh Sekretaris LBH PMII Firhan Khafi Reyfaldi, Bendahara Umum Cabang PMII Rizal Muhaimin, serta beberapa anggota LBH lainnya.
Salah satu hasil nyata dari kerja sama ini adalah pembentukan Paralegal Tani sebuah inisiatif pengawasan hukum di tingkat desa. Melalui program ini, LBH PMII menempatkan kader paralegal di sejumlah kecamatan untuk memberikan edukasi hukum, membantu penyusunan administrasi pupuk, dan mendampingi petani ketika menghadapi dugaan penyimpangan.
“Kami ingin kesadaran hukum tumbuh dari bawah. Petani perlu tahu bahwa mereka punya hak dan bisa melapor bila terjadi penyimpangan,” ujar Fauzan.
LBH PMII juga menegaskan komitmennya untuk memberikan pendampingan hukum secara cuma-cuma (pro bono) bagi kelompok tani yang mengalami permasalahan dalam penyaluran pupuk bersubsidi.
“Kami tidak ingin petani takut bicara. Bila ada harga jual di atas HET atau data penerima yang tidak sesuai, mereka bisa melapor kepada paralegal untuk ditindaklanjuti secara hukum,” imbuhnya.
Berdasarkan hasil pemantauan LBH PMII, sejumlah persoalan klasik dalam distribusi pupuk masih kerap terjadi. Mulai dari ketidaksesuaian data Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), keterlambatan distribusi, hingga lemahnya pengawasan di tingkat pengecer.
“Masalah terbesar selalu di pendataan dan pengawasan. Kadang petani yang berhak tidak dapat jatah, sementara yang tidak berhak justru menerima. Kondisi inilah yang kami ingin perbaiki bersama Dinas Pertanian,” ungkap Fauzan.
Ke depan, LBH PMII bersama Dinas Pertanian akan melakukan penyuluhan hukum dan evaluasi berkala terhadap distribusi pupuk di beberapa kecamatan. Tujuannya, membangun sistem distribusi yang partisipatif, transparan, dan terbebas dari praktik koruptif.
Fauzan menegaskan, pihaknya tidak hanya ingin menjadi pengkritik, tetapi juga mitra strategis pemerintah dalam memperkuat tata kelola pertanian yang berkeadilan.
“Kami tidak ingin petani terus berada di posisi lemah. Ini bukan hanya tentang pupuk, tetapi juga tentang kedaulatan pangan dan keadilan sosial,” pungkasnya.












