BOGOR, RN – Saya berdiri terpaku di kaki Tebing 125. Ingatan terlontar ke masa lau, sekitar 35 tahun lalu bersama kawan-kawan Himpunan pelajar pecinta alam (Hipacita) saya belajar bagaimana cara memanjat tebing. Disini di sekolah dan rumah para petualang Rock Climbing Citatah, Surga Karst Padalarang.
Mentari baru saja merekah, ketika kami tiba di sini–setelah menumpang truk sayur, menembus dinginnya malam melintasi kawasan Puncak Jawa Barat.
Uyong, Si ‘Setan Gunung’, sahabat saya mencatat, “Mang Supir yang baik itu memberikan tumpangan dari depan Pasar Cikokol, Tangerang, sejak dini hari, 16 Agustus 1990.” Tulisnya via pesan WA.
Kami yang masih berdarah muda memang lagi gila-gilanya dengan petualangan. Darah terasa mengalir deras karena gelegak antusias. Keterampilan tali-menali dan menggunakan peralatan panjat tebing seperti harnes, carabiner, karmantel, descender, dll., kami praktikkan di sini.
Tubuh yang ditempa latihan fisik diuji coba. Kami memanjat, terpeleset, terpelanting, jatuh, dan menggelantung pada tali pengaman. Terus begitu berulang kali. Ah, sensasi dan kenangan kembali berlompatan.
Seperti saat itu, di sinilah saya sekarang. Jika dulu mengeja tangan, kaki dan nyali hingga bisa membawa jiwa raga di ketinggian— wusss… angin semakin kencang, jantung berdegup, adrenalin terpacu, berdesir rasa ngeri dan penasaran—kini saya hanya bisa menyaksikan dari bawah. Pemanjat muda lincah merayap, sementara para senior pemanjat itu ternyata masih merawat passion-nya.
“Rock Master, manjat terus!” Teriak mereka sepenuh yakin.
Api yang Tak Padam dan Sejarah yang Kembali Berulang
Sejarah itu kembali berulang dalam gelaran Indonesia Climbing Festival. DJati Pranoto—salah satu legenda panjat tebing nasional—kembali menantang Citatah dalam even Rock Master.
Tubuhnya mungkin tak lagi muda, tapi semangatnya tetap menyala. Perlahan, ia merayap di tebing setinggi 125 meter. Setiap gerakan terasa seperti dialog lama antara manusia dan batu, antara kenangan dan keberanian yang abadi.
Tak butuh waktu lama, Djati mencapai puncak. Sorak sorai pun pecah, menggema di udara Padalarang. Ini bukan hanya untuk sebuah pencapaian, tapi untuk sebuah perjalanan panjang yang kembali hidup di depan mata, memacu semangat pemanjat muda.
“Ajib, keren… para pemanjat tua aja masih mampu memanjat tebing curam, kita yang muda enggak boleh kalah,” ujar Ranu, pemanjat muda dari Bogor.
Saat turun, dengan napas yang masih terengah, Djati mengenang. Baginya Citatah adalah sekolah panjat pertama. “Haha.. ngos-ngos an euy, di sini saya kali pertama belajar panjat tebing. Dulu di tahun 80-an masih banyak monyet dan ular berkeliaran di Tebing Citatah,” tuturnya sambil tersengal, mengatur napas.
Citatah: Guru, Sekolah, dan Rumah yang Memanggil Pulang
Citatah memang memiliki warisan karst yang khas. Gunung-gunung di kawasan ini mengandung batu sedimen kapur dan karang yang kokoh, membentuk tebing curam dengan beragam kemiringan. Yang terkenal ada Tebing 48, Tebing 90, dan 125 yang pastinya menggoda para petualang.
Bagi para pecinta panjat tebing, Citatah bukan sekadar tebing, namun sudah menjadi sekolah, bahkan telah menjadi rumah bagi mereka. Nama Citatah selalu bergaung, memanggil-manggil kami untuk kembali pulang, meski sejauh apa pun jarak sekarang. Seperti Erwin Tanjung, misalnya, yang sengaja datang jauh-jauh dari Pulau Bangka.
“Bersua dengan teman sejawat pemanjat, mengenang perjalanan adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya yang sudah mulai tak lagi muda haha…,” kata Erwin dengan antusias.
Ia sengaja menempuh perjalanan panjang dengan mengendarai mobil sendiri dari Pulau Bangka untuk memenuhi undangan panitia. Ketika asyik bercengkerama, seorang sahabat lama tiba-tiba datang dan memeluknya dengan hangat. Letkol Kopassus Ali Anwar rupanya, yang ternyata hadir sejak sehari sebelumnya.
“Ini Bang Ewing, guru panjat saya. Saya masih SMA, beliau sudah jadi pemanjat senior di Bogor. Saya banyak belajar dari beliau,” cerita komandan pembina jasmani prajurit MAKO Kopassus ini.
Citatah memang bukan saja jadi tebing favorit para pecinta alam dan atlet panjat tebing, namun juga jadi lokasi training kalangan militer tanah air seperti Kopassus . “Hampir semua jalur pemanjatan di Citatah sudah saya lalui,” katanya bangga.
Berkat disiplin berlatih, ia bisa menempuh karier hingga saat ini di pasukan elit AD.
Ya, Citatah adalah tebing kenangan—di mana jejak, peluh, dan mimpi mereka terpatri.
Nama-nama besar pernah menorehkan langkah di sana: Hary Suliztiarto, Djati Pranoto, Mamay Salim, dan banyak lagi. Mereka bukan sekadar memanjat, tapi juga menenun makna sejati pecinta alam.
“Ayo datang dan main kesini. kita jaga dan lestarikan Citatah tempat main kita.” Pungkas Djati.
Perayaan Persahabatan
Indonesia Climbing Festival 2025 yang digelar FPTI Jawa Barat di Citatah menjadi momentum yang penting. Iwan Ichsan, Ketua Panitia penyelenggara mengatakan, kegiatan ini mengusung semangat “Climb, Connect, Celebrate,” dan bukan sekadar kompetisi, namun jadi reuni dan perayaan besar bagi seluruh pecinta alam dan petualangan.
“Ini even udah seperti jadi Lebarannya para pemanjat tebing. Sedikitnya 1000 orang hadir di sini, mereka kebanyakan adalah para pemanjat tebing yang punya kenangan khusus di Citatah,” kata Iwan.
Saya masih di bawah, menggerayangi lekuk tebing curam itu dengan pandangan mata. Saya merasakan nyala api yang sama dari para petualang yang saya saksikan.
Di tengah lingkaran waktu yang tak lagi sama, sebuah pertanyaan menggoda: Mungkinkah saya bisa memanjat lagi?
Mungkin tubuh tak lagi sekuat 35 tahun lalu, tapi Citatah, sang guru abadi, telah mengajarkan sesuatu yang jauh lebih penting daripada ketinggian: ia mengajarkan keberanian untuk kembali, kesetiaan pada kenangan, dan bahwa petualangan sejati tidak pernah berakhir—ia hanya menunggu kita untuk kembali mendongak ke atas.
Citatah bukan sekadar tebing. Ia adalah monumen hidup bagi keberanian, persahabatan, dan ingatan yang terus memanggil kita untuk pulang.
Depok, 20 November 2025
Viandi-vei
Artikel Pulang Ke Tebing Kenangan, Catatan kecil Indonesia Climbing Festival 2025 pertama kali tampil pada Reportase News.